Sabtu, 19 Desember 2015

Review 'Pulang" - Tere Liye


Keterangan Buku : 
Judul : Pulang
Penulis : Tere Liye
Editor : Triana Rahmawati
Cover : Resoluzy
Lay Out : Alfian
Penerbit : Republika
Tahun Terbit : Cetakan I (September 2015), Cetakan II, III (Oktober 2015)
Tebal : iv + 400 halaman ; 13.5 x 20.5 cm

REVIEW : 

"Aku tahu sekarang, lebih banyak luka di hati bapakku dibanding di tubuhnya. Juga mamakku, lebih banyak tangis di hati Mamak dibanding di matanya."

Sebuah kisah tentang perjalanan pulang, melalui pertarungan demi pertarungan, untuk memeluk erat semua kebencian dan rasa sakit."

“Selalu ada hal baru yang bisa direnungi dan dipahami dari novel-novel Tere Liye.”
—Pulin Sri Lestari, ibu rumah tangga

“Saat ini kita cenderung tidak lagi peduli pada banyak hal, namun novel-novel Tere Liye membantu kita untuk melihat lebih dalam dan peduli.”
—Tiara, guru/dosen

“Kayak buku pelajaran, tapi seru. Mamah kamu nggak akan ngambek kalau kamu baca novel-novel Tere Liye.”
—Khoerun Nisa, siswi SMA

“Membaca novel-novel Tere Liye seperti pulang ke rumah. Berapa jauh pun kaki melangkah, selalu ingin kembali.”
—Evi, buruh migran Indonesia
 

-------- 

Lima Belas Tahun. Selama itu hidup Bujang hanya berada di pedalaman rimba Bukit Barisan. Bersama kedua orang tuanya, Samad dan Midah. Menjadi anak satu-satunya membuat mamaknya sangat menyayangi Bujang. Terlepas dari kehidupan petani yang sederhana, ternyata ada banyak luka masa lalu yang membuat bapaknya seolah membencinya. Terlebih, ketika Bujang mengaji, dan belajar agama. 

Setelah masa itu, Bujang akhirnya pergi. Menuruti bapaknya, ketika teman lama bernama Tauke Muda 'menyambangi' mereka. Dan waktu semalaman di rimba, akhirnya mengubah jalan hidupnya. Hingga ia mempunyai julukan 'Babi Hutan' di masa depan.

"Aku tahu kau akan cemas, akan menjadi apa Bujang besok lusa, Midah. Tapi siang ini, jika Tuhan memang sayang, maka anakmu akan menemukan jalan terbaiknya. Sejauh apa pun dia pergi, sejauh apa pun dia menghilang, Tuhan akan menemukannya." hlm 23

Bujang, anak petani biasa di pelosok Sumatera, akhirnya mengikuti jejak bapaknya. Ke Ibu Kota. Merantau meninggalkan tanah kelahirannya. Jika Bapaknya pergi karena sakit hati, Bujang tidak. Untuk menuruti bapaknya, dan agar Ibunya tidak selalu menangis, ketika bapaknya menghadiahi cambuk dirinya ketika belajar mengaji. 

Bujang di sekolahkan, mengejar ketertinggalan selama  15 tahun. Siapa sangka, ternyata ia mempunyai otak jenius, hingga mengantarkannya meraih dua gelar master dari Universitas di Amerika. 
"Darah tukang pukul  memang mengalir deras dalam tubuhku. Itu seperti  sudah menjadi takdir hidupku." hlm 144 
 Dalam diri Bujang mengalir dua jenis darah dari dua orang penting di masanya. Kakek dari mamaknya, seorang alim ulama yang berhasil memukul mundur pasukan Belanda ketika menjajah. Sedangkan kakek dari bapaknya, seorang 'perewa' mashyur di jamannya. Tak ayal, otak yang cerdas, hingga fisik yang tangguh ia miliki sempurna. Dan walaupun ia mengenyam pendidikan, Bujang tetap kembali 'pulang'. Menjadi tukang pukul, seperti kakek dari ayahnya.

Selain akademisnya yang mentereng, banyak ilmu lain yang ia pelajari. Dari Kopong, ia belajar banyak hal tentang 'bela diri'. Tentang melindungi diri dari serangan fisik. Bukan itu saja, ia juga belajar tentang memegang katana hingga hakikat Samurai sejati pada Guru Bushi, serta tata cara menarik pelatuk yang benar dengan orang asing asal Filipina bernama Salonga. Itulah ilmu yang ia pelajari selama hampir dua puluh tahun, semenjak kepergian dari kampungnya, semenjak melihat tangis mamaknya yang terakhir, untuk mengijinkan dirinya ikut Keluarga Tong. Itu semua menjadi bekalnya untuk memajukan Keluarga Tong. Cerdas, kuat dan tak kenal takut.

Hingga akhirnya pengkhianatan orang dalam memaksa Bujang tersungkur. Terkapar hingga ia kehilangan keberaniannya. Ketakutan yang dulunya tidak pernah singgah, akhirnya setelah 20 tahun lamanya, bagaikan hujan deras pertama setelah kemarau panjang. Melumpuhkannya. Lalu, bagaimana Bujang menemukan keberaniannya kembali, atau apakah keberanian itu akhirnya terkubur oleh ketakutan yang semakin kokoh??

------
"Pulang pada hakikat  kehidupan. Pulang, memeluk erat semua kesedihan dan kegembiraan." hlm  219 
Novel ini berjudul pulang. Seperti  matahari yang akhirnya akan tenggelam ke pangkuan cakrawala menjelang petang. Pulang disini dijelaskan dengan banyak pengertian. Pulang ke rumah; pulang, kembali ke pangkuan Tuhan; kembali ke jalan yang seharusnya; kembali ke takdir yang memang telah menuntunnya. 

Kali ini, tidak ada drama percintaan seperti di Sunset Bersama Rosie atau Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah yang sebelumnya telah berhasil membuatku menggemari tulisan bang Tere. Drama action yang disajikan seolah membawaku ke adegan Mission Impossible yang melibatkan Tom Cruise atau Sky Fall ala James Bond
Sekali lagi, bang Tere berhasil menyeretku ke drama paling menakjubkan, tegang lalu sedih dan tiba-tiba senyum-senyum sendiri.

Namun, ada hal yang sepertinya selalu menjadi ciri khas bang Tere. Yaitu, tokoh utamanya, selalu seorang lelaki, seorang pemuda yang mempunyai kesempurnaan dalam otaknya. Selalu pekerja keras, tapi rapuh dalam menghadapi pahitnya kehidupan. 

Tidak bisa dielak lagi, bang Tere adalah salah satu penulis jenius yang bisa mengolah banyak hal di sekitarnya. Penggunaan banyak kata baru yang belum aku mengerti, memberikan nilai tersendiri . Yakuza, Perewa, Cash Cow, Da Shou, berkelindan, Katana, Shuriken, Underground Economy, dll. Betapa banyak kata-kata asing yang mengikuti alur cerita. Penjelasan detail juga sering kali membuat geleng-geleng kepala. Ini, bang Tere survey langsung atau gimana yah?? :D :D 

Bukan tentang Bujang, tapi tentang Shadow Economy yang ternyata terjadi mendunia. Tentang politik di balik hal-hal sepele, yang ternyata banyak pihak terlibat di dalamnya. (Apakah di negeri ini atau bahkan di luar sana memang hal ini telah terjadi? Entahlah ..)

Ada banyak momen yang menjadi kesukaanku. Bukan, bukan. Tepatnya, ada banyak momen yang akhirnya membuat sedih. Membuat tersentuh.
"Mamak akan mengijinkan kau pergi, Bujang. Meski itu sama saja dengan merobek separuh hati mamak. " hlm 23
"... berjanjilah, Bujang, kau tidak akan makan daging babi atau daging anjing. Kau akan menjaga perutmu dari makanan haran dan kotor. Kau juga tidak akan menyentuh tuak dan segala minuman haram." hlm 24 
Momen ketika Mamak meminta bujang untuk berjanji. Bukan itu saja. Aku kira, drama mellow hanya sampai disitu. Nyatanya, tidak. Bujang yang tidak pernah menyambangi atau bertukar kabar dengan kedua orang tuanya, akhirnya harus mendapat kabar menyedihkan di sela-sela kesuksesannya sebagai mahasiswa. Mamak, dan selanjutnya bapaknya, akhirnya menghapdap sang Pencipta. Dan surat yang dituliskan bapaknya selalu menyentuh. Lima jempol buat bang Tere yang berhasil lagi memporak-porandakan hatiku. Ehhh :D :D

Tapi ada momen lucu di akhir cerita. Selain tegang, dan sedih (meskipun banyak tegangnya). Yuki dan Kiko, dua kembar bersaudara dari Jepang mungkin sedikit mengalihkan kita dari dunia gelap yang berada di sekeliling Bujang.

Penggunaan alur maju dan mundur, memberikan pemahaman dan detail cerita yang memuaskan. Bagaimana masa lalu bapak dan mamaknya, keluarganya, masa lalu keluarga Tong, hingga masa lalu tiap tokoh yang berhasil digambarkan dengan spesifik. Tidak terlewatkan sama sekali.

Banyak tokoh yang menghiasi buku setebal 400 halaman ini. Di awal cerita, kita akan disuguhi cerita Samad dan Midah, orang tua Bujang, Tauke Muda (yang berubah status menjadi Tauke Besar), Franz si Amerika, Kopong, hingga Basyir yang menjadi teman baik Bujang di kemudian hari. 

Sama seperti di novel-novel sebelumnya, aku tidak banyak mengeluhkan apa yang disajikan. Penyajian cerita dengan sudut pandang orang pertama sangat membantu. Memudahkan mengikuti alur cerita yang semakin ke belakang semakin seru. Meskipun aku tidak menyukai dunia politik, tapi dari sini aku malah menyukainya. Tertarik untuk terus mengikuti tulisan bang Tere. Cerita yang disajikan selalu membuat excited, membuat tepuk tangan meriah di akhir buku. Tidak ada kesalahan yang kutemukan. Salah ketik, penggunaan tanda baca, atau lainnya. Mungkin, pendeskripsian tentang adzan yang mengusik Bujang terlalu mendadak. 

Bujang???
Aku menyukai karakter ini. Pantang menyerah, kerja keras, dan sangat menyayangi mamaknya.

Tapi, untuk hiburan, seperti yang aku katakan sebelumnya. Yuki dan Kiko, si kembar dari Jepang mendapat 3.5 jempol dariku :D :D

-----

Bang Tere selalu identik dengan cerita yang menyentuh kehidupan. Pesan moral yang selalu bertebaran di dalamnya. Banyak hal yang kita pelajari disini.
Seperti; Cinta sejati pasti akan pulang. Seperti cinta Mamak dan Bapak Bujang. Walau menyakitkan dalam perjalanannya, mereka akhirnya bersatu; tentang kerja keras, dan disiplin; tentang kesetiaan dan penghianatan; tentang kehilangan dan kesedihan mendalam.


Ada sedikit quote yang coba aku tampilkan disini. Mungkin, akan memberi inspirasi kalian untuk membaca penuh isi novelnya.


"I against my brother, my brothers and I against my cousins, then my cousins and I against strangers."
"Hanya kesetiaan pada prisnsip lah yang akan memanggil kesetiaan-kesetiaan terbaik lainnya." hlm 207 
"Pulang pada hakikat kehidupan. Pulang, memeluk erat semua kesedihan dan kegembiraan." hlm 219
 "Meski semua hal itu adalah kenangan menyakitkan, kita baru merasa kehilangan setelah sesuatu itu telah benar-benar pergi, tidak akan mungkin kembali." hlm 241
"Hidup ini adalah perjalanan panjang dan tidak selalu mulus.  Pada hari ke berapa dan pada jam ke berapa, kita tidak pernah tahu, rasa sakit apa yang harus kita lalui. Kita tidak tahu kapan hidup akan membanting kita dalam sekali, membuat terduduk, untuk kemudian memaksa kita mengambil keputusan. Satu-dua keputusan itu membuat kita bangga, sedangkan sisanya, lebih banyak menghasilkan penyesalan." hlm 262
"Tidak mengapa jika rasa takut itu hadir, sepanjang itu baik, dan menyadari masih ada yang memegang takdir." hlm 343
"Akan selalu ada hari-hari menyakitkan dan kita tidak tahu kapan hari itu menghantam kita. Tapi akan selalu ada hari-hari berikutnya, memulai bab yang baru bersama matahari terbit." hlm 345

-------

Tidak pernah kecewa pada akhir cerita, meski Mamak telah berpulang :D :D
"Mamak, Bujang pulang hari ini. Tidak ke pangkuanmu, tidak lagi bisa mencium tanganmu. Anakmu pulang ke samping pusaramu, bersimpuh penuh kerinduan."

Novel yang layak baca untuk siapapun. Yang menyukai genre politik, yang menyukai ketegangan macam perkelahian. Penikmat romance yang selalu dibumbui adegan romantis, sesekali harus merasakan sensasi lain yang selalu dikemas apik oleh bang Tere Liye :D :D  Patut dicoba. Aku telah mengalami. Jatuh cinta pertama kali pada novel setelah membaca tulisan bang Tere Liye di Sunset Bersama Rosie :D :D
 5 bintang dan 5 jempol untuk bang Tere Liye.
Akhirnya aku juga kembali pulang ke tempat awalku mengenal novel.. :D :D :D

Ehhhhhhhhhhh

Senin, 14 Desember 2015

Review Bulan Nararya - Sinta Yudisia

  

Nama Penulis : Sinta Yudisia
Penyunting Bahasa : Matris Radyamas
Penata Letak : Puji Lestari
Desain Sampul : Andhi Rasydan & Naafi Nur Rohma
Penerbit : Imdiva Media Kreasi
ISBN : 978-602-1614-33-4
Cetakan Pertama : September 2014
256 halaman; 19 cm
Harga : Rp.46.000,00 Rp.27.600,00 di 
http://bookstore.indivamediakreasi.com/index.php?route=product/search&filter_name=bulan%20nararya

Aroma mawar makin tajam tercium.
Aku menundukkan kepala, gigi gemeletukan. Rahang saling beradu. Kedua kaki berdiri tanpa sendi, namun betis mengejang kaku. Berpegangan pada kusen pintu, perlahan tubuh melorot ke bawah. Ada sebaran kelopak mawar tercabik hingga serpihan di depan ruang kerja. Sisa tangkai dan batang serbuk sari teronggok gundul, gepeng terinjak. Cairan. Cairan menggenang, berpola-pola.

Aku bangkit, terkesiap. Otakku memerintahkan banyak hal tumpang tindih. Lari keluar, berteriak. Atau lari ke dalam, mengunci pintu. Atau lari masuk, menyambar telepon. Tidak. Anehnya, intuisiku berkata sebaliknya. Tubuhku berbalik, meski melayang dan tremor, dengan pasti menuju tas. Merokoh sisi samping kanan, hanya ada pulpen dan pensil. Merogoh sisi kiri, ada tas plastik kecil, bekas tempat belanjaan yang kusimpan demi eco living.

Segera kuambil tas plasting kecil, membukanya, menuju ke arah pintu.

Halusinasiku menemukan jawaban.

*****

Suaranya terdengar serak di seberang.
Bingung. Marah tertahan. Juga, luka di akhir tarikan napas.
"Aku harus bagaimana?"
Jam dinding menjawaw dengan dentangan berjumlah dua. Dini hari yang memberatkan kelopak mata.
"...dia bunuh kucingku!" 

Opening yang cukup membuat penasaran. 
Awal melihat novel ini sudah jatuh hati sama covernya yang cantik. Apalagi pembukaan di awal cerita dan ringkasan di sampul belakang akhirnya memberi rasa penasaran untuk lebih jauh mengenal kisah sebenarnya yang berusaha dijelaskan penulis. Walau pada awalnya terkecoh akan sampul manis, dengan label sebagai Juara III Kategori Novel Kompetisi Menulis Tulis Nusantara 2013 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Anganku menebak, mungkin menceritakan tentang kehidupan Suku Anak Dalam, atau pesona alam dan keindahan salah satu wilayah nusantara. Nyatanya,.. (Aku cukup mengernyit) Salah besar.

"Seseorang yang pernah utuh di masa lampau, terpotong sebagian masa-waktu akibat kehilangan ingatan dan kemampuan menganalisa realitas, demikianlah ciri khas skizophrenia yang lazim disebut ketidakwarasan." - hal 240

Ini novel perdana dari kak Sinta Yudisia yang berhasil aku selesaikan. Pokok utamanya tentang problematika dalam hidup, masalah kehidupan yang lebih kompleks. Masalah internal dan eksternal yang selalu dihadapi manusia. Namun settingnya berada di area "mental illness". Adalah Nararya, yang akrab disapa Rara sebagai tokoh utama jalannya cerita. Harus bergelut dengan lingkungan pribadi dan kerja yang memberinya banyak pergesekan, membuatnya harus bisa bertahan. Sebagai terapis, yang juga sebagai manusia biasa, masalah tidak hanya berasal dari satu sisi. Banyak rasa yang tercipta di dalamnya. Ada marah, benci, sedih, kecewa, cinta dan kasih sayang.
"Terapis yang hebat, bukan mereka yang mampu menangani segala. Tapi yang tahu kapan harus meminta bantuan dari orang lain, di titik tertentu." hal 101
"Kamu terapis? Ya! Tapi kalau nggak mampu mengatasi persoalan pribadi, bukan dosa ketika meminta bantuan orang lain. Di sisi lain, hanya kita yang tahu kekuatan diri sendiri. Kamu harus bangkit. Move On! Sekarang, atau terlambat!" hal 101 
Berawal dari gagasannya mengubah cara penyembuhan penderita skizophrenia agar tidak selalu bergantung pada farmakologi. Pada obat-obatan. Gagasan transpersonalnya yang ternyata ditentang oleh bu Sausan, atasannya di mental health center tempat Nararya bekerja. Mungkin, karena Nararya yang sudah cukup dekat dengan tiga teman luar biasanya, seperti Sania - gadis kecil yang beranjak dewasa, yang mempunyai latar belakang kekerasan dalam keluarga, hingga ia harus mendekam di pusat rehabilitasi -, Yudhistira; arsitek tampan yang mempunyai istri pintar nan cantik, yang tak mampu membendung emosinya akibat tekanan dari keluarga serta pak Bulan, mantan residivis yang selalu bergelut dengan mawar, dan Purnama yang selalu ia sebutkan, tanpa mengindahkan bentuk bulan sebenarnya. Simpati atau bahkan kasih sayangnya mendorong dirinya untuk membuat terobosan baru agar mereka tidak kambuh atau bergantung pada obat-obatan.

Masalah bisa datang dari banyak hal, bukan? Mungkin ini yang ingin ditekankan oleh penulis. Life is never flat. Di samping perselisihannya dengan sang atasan, Nararya dihadapkan pada gejolak rumah tangga yang akhirnya harus ia lepaskan. Angga, suami yang dicintainya, yang dulunya membuatnya merasa sempurna, akhirnya membuatnya kecewa setengah mati. Sepuluh tahun kebersamaan mereka kandas diakibatkan Angga yang lebih memilih untuk bersama Moza, sahabat Nararya. Puk puk bu Rara :D :D :D
"Aku menjauh. Apa aku bisa tegas menolaknya? Apa Angga dan Moza resmi menjadi musuhku? Sejak kapan? Sejak aku bercerai dari Angga dan Moza menjadi istrinya diam-diam?" hal 123
"Aku memilih menyelamatkan diri. Kuizinkan Angga dan Moza melihat hubungan dalam sudut pandang yang berbeda, meski aku tak berharap Moza mengalami hal yang sama buruknya dengan diriku. Walau sempat, sebagai manusia, aku mengutuknya. Bagaimana mungkin seorang sahabat merebut seseorang yang kucintai, di saat terakhir?" hal 28
Tidak sampai disitu saja. Meskipun berat melepaskan Angga, di saat ia memilih untuk menyerah, kehidupan Angga dan Moza malah memberinya banyak masalah baru. Angga yang menjadi kliennya, hingga kedatangan Moza yang selalu mencecarnya dengan banyak hal. Lalu, apakah masalah Rara akhirnya selesai begitu saja setelah kedatangan Moza dan Angga (dengan status yang berbeda)??

Banyak tokoh yang terlibat dalam cerita ini, dari latar belakang dan usia yang berbeda. Sehingga memunculkan banyak intrik dan konflik yang tercipta. Di lain persahabatan dan rumah tangganya yang kandas, masalah dari keluarga pasien menambah alur cerita lebih varian. Ketidakharmonisan keluarga Yudhistira - istrinya dengan ibu dan kakak-kakak Yudhis -, kedatangan ayah kandung Sania yang meminta anaknya, hingga halusinasi Rara tentang mawar dan darah yang sering ia lihat - yang membuatnya dikira mengidap skizophrenia - menambah daftar konflik, hingga seoalah tidak ada habisnya dan menuntut  jawaban akan akhir kisahnya.
"Setiap orang pernah punya halusinasi. Ilusi. Malah ada orang-orang yang bisa mendengar suara aneh, melihat bayangan gaib. Itu ciri khas skizophrenia, orang gila." hal 138
Penggunaan sudut pandang orang pertama, banyak membantu menjelaskan cerita yang terjadi. Apalagi sedikit misteri berbumbu detektif semakin menambah aroma mistis di dalam cerita.
Namun, banyak kata-kata psikologis macam demonish (hal 8), celebral palsy, slow learner, multi handicapped (hal 18) atau kata-kata lain yang tidak saya mengerti kadang membuat saya harus menghentikan membaca dan mencarinya lewat internet. Mungkin, jika pengetian yang berada di halaman terakhir dijadikan footnote akan  memudahkan dan memberi kepuasan lebih bagi para pembaca. :D :D :D

Dan yang menurut saya sedikit aneh adalah, daftar isi yang ternyata judulnya pun tidak dituliskan di tiap pergantian bab. Menurutku, lebih baik diberi judul tapi tidak ada daftar isi, atau memberikan daftar isi dan diberi judul. Kan, kalau pengen tahu judulnya nggak usah bolak-balik halaman awal :D nanti jadi gagal fokus. Hehehe.. :D :D

Oh iya, MVP atau kalau di olahraga Most Valuable Player a.k.a pemain terbaik adalah Bu Sausan. Saya menyukai karakter tegas dan berwibawa beliau, meskipun kadang-kadang menjengkelkan. Nararya, aku juga menyukainya. Meskipun rapuh, tapi akhirnya berkat dukungan dari banyak orang, ia bangkit. Salut juga buat Diana yang akhirnya memilih hal yang benar :D :D :D Aduh, cerita cinta Luna sama Randi juga jadi sedikit hiburan setelah gemas-gemas sebal dengan Nararya yang gagal move on dari Angga. (Angga?? Apa baiknya coba, bu Rara. hehehe.. :D)

Aku paling benci sama Angga. Bener-bener benci. Aduhh,, pingin ngetimpuk pake buku tebal deh. :P :D Udah gedhe, tapi kok tetap labil. Dan Moza, kalian bisa baca sendiri konflik yang mereka bangun. Keduanya cocok deh, bikin aku galau kaya Nararya... Setuju banget sama Nararya yang berusaha Move On dan melepas Angga. Dan saya masih sebel sama Moza. (Ngerasa senasib. Ehhhh.. xD sedikit curcol. Hehehe.. )

Belum kutemui salah ketik, entah karena keasyikan menikmati cerita yang super menyita rasa penasaranku, atau saya memang melewatkannya begitu saja. :D
Saya sempat bingung, bagaimana akhir yang disediakan kak Sinta. Sempat kecewa sama konflik di keluarga Yudhis yang belum bisa buat saya "ngeh" maksimal (apa karena terlalu fokus sama endingnya Moza-Angga-Nararya, Yudhis-Sania-Diana (Sania enaknya ikut nggak ya.. :D :D Bisa dipahami sendiri deh :D). Tapi, overall, konflik satu sama lain terbangun dengan sempurna. :D Tiga jempol buat kak Sinta yang sukses bikin saya penasaran sampai akhir cerita.
"Tak usah mencari apa makna yang tersirat. Kesukaanmu mencari apa yang tersembunyi di belakang, akan menyulitkan. Pakai saja konsep here and now. Apa yang ada di hadapanmu, itu saja." hal 93
Novel ini menarik dan layak dijadikan koleksi bagi yang  yang menginginkan lari dari serial Love and Travel, le Marriage yang tengah menjamur (bukan lari dari kenyataan loh :D ehhhh). Recommend banget.  Kata-kata motivasi dan quote yang bertebaran cukup pas buat yang pengen Move On. Terapis patah hati aja harus Move On, apalagi kamu, yang manusia biasa. Ehhhhhhhhhhhhhhhhh :D :D :D
(Sedikit nyindir :D)
"Kehidupan tak pernah mudah. Bukan masa lalu yang menghancurkan seseorang, bukan orang lain yang mencelakakan, tapi sejauh mana manusia mampu memperkaya dirinya dengan hal-hal yang ditemui sepanjang jalan." hal 251
Hampir lupa, Ada jempol yang ketinggalan buat Farida :D :D

Minggu, 22 November 2015

Two Choices



Rasya masih mengotak-atik milkshake coklatnya sambil melamun dengan tatapan kosong yang tidak pernah bisa diungkapkan. Tapi, raut wajahnya terlihat begitu suram tidak seperti Rasya yang selalu ceria dengan kondisinya. Yang selalu menebar banyak senyum ke siapapun hingga bisa dikatakan layaknya orang gila yang menertawakan imajinasi yang menurutnya lucu. Ia masih menunggu Dea membawa pesanannya. Ya, mereka memilih tempat nongkrong favorit mereka, dimana makanan atau pesanannya langsung dibayar sebelum dibawa, hanya makanan yang butuh proses lama yang akan diantar pelayan. Mereka lebih menyukainya, ketika menikmati obrolan, tidak akan ada jeda ketika pelayan dating memberhentikan obrolan seru.So, what you think about Ben?” Dea mengeluarkan keingintahuannya setelah kemarin berhasil menangkap arah pembicaraan Rasya via chat biasa. Ia mengalihkan tatapannya dari segelas es lemon yang berada di depannya. Tidak kurang, tidak lebih. Tatapan khawatir itu jelas terpampang di raut wajah cantik Rasya.Rasya mendesah. Ia tak tahu harus memulainya darimana. “Gimana denganmu dan Azka? Baik-baik?” Ucapnya ragu. Dea mendesah pelan. Mengendikkan bahu tanpa tak tahu. Ia berjengit tak percaya. “Ben baik, tapi ada hal lain yang aku bingungkan.”“Apa?” Pertanyaan itu keluar dari tatapan mata Dea yang langsung menghujan ke mata sayu Rasya. Rasya menggeleng pelan. Seolah ia ingin tahu seberapa besar masalahnya. Apa yang Rasya pikirkan hingga kekhawatiran itu keluar menapakkan aura negatif yang membuatnya sahabatnya terlihat begitu tertekan.
“Ben melamarku.” Ucapnya ragu-ragu dengan nada yang lirih. Rasya Nampak murung. Mendesah pelan dan kembali mengubek milkshake yang masih terlihat utuh.“Lalu?” Dea masih terlihat antusias dengan cerita sahabatnya. Tidak mau memotong ataupun langsung menyerobot paksa. Hanya mendengarkan apa yang tengah dipikirkan Rasya.Banyak waktu-waktu yang memaksa mereka berdiam diri. Rasya dengan dunianya sendiri, tenggelam dengan lamunannya tanpa diketahui pasti sebabnya.Ben yang diketahui Dea adalah cowok dengan reputasi keren di kampusnya dulu. Atlet basket, pengurus ikatan mahasiswa, dan berasal dari keluarga terpandang. Masih ia ingat betul awal mulanya Dea tahu bahwa Ben menaruh hati pada Rasya.“De, kapan nongkrong lagi?” Dea menyelidik heran. Bukan tanpa alasan, Ben terlihat sebagai cowok yang jarang banget atau mungkin jual mahal untuk terlihat dekat dengan cewek. Meski satu jurusan, dan sekelas, Ben tidak pernah menyapa Dea sebelum akhirnya Rasya hadir.“Beni. Biasa dipanggil Ben.” Ia mengulurkan tangannya tepat di hadapan rasya yang masih sibuk dengan buku yang ia pegang. Nampak terlihat polos nan lugu, Rasya tak merespon uluran tangan itu hingga Dea yang terpaksa turun tangan menyikut Rasya pelan.Dan, setelah adegan perkenalan yang lama-lama membuatnya terkekeh itu, Ben semakin dekat dengan Rasya. Namun, entah apa yang dipikirkan gadis itu, ia sedikit menjaga jarak. Dea baru mengenal Rasya di semester kedua, jadi Dea pun belum mengerti betul karakter Rasya kecuali pendiam. Tidak banyak bicara, tapi sebenarnya ia gadis asyik. Hanya saja, ketika berhadapan dengan cowok, ia langsung berubah menjadi dingin dan cuek. Seolah mereka tidak pernah muncul.“Aku bingung, De.” Rasya buka suara. Ia masih memandang lalu lalang jalanan dengan kendaraan beroda dua yang mulai ramai.“Kalian sudah mapan Ras. Kamu kerja, Ben juga kerja. Mau keluarganya memandang kamu sebelah mata, itu udah bukan urusan lagi. Kamu punya peng…” Belum sempat Dea menutup penjelasannya, Rasya perlahan menggeleng. Ia menggeleng berkali-kali seolah lebih menjelaskan bahwa bukan itu masalah sebenarnya. Siapa yang tidak mau dengan Ben yang ganteng, punya tubuh tinggi dengan kulit putih, punya pekerjaan mapan  hingga keluarga terpandang. Setiap gadis tak akan pernah bisa menolaknya, bahkan menolak untuk menjadi istrinya. Dea berkali-kali menyindirnya untuk lelucon jika memergoki Rasya yang diantar pulang oleh Ben sewaktu kuliah hingga setelah mereka menjadi pekerja antoran seperti saat ini.“Bukan itu, lalu kenapa? Dari dulu kamu kan bingung masalah financial? Sekarang pekerjaanmu oke, gaji oke, mau nunggu apalagi? Ksempatan nggak dating dua kali lo Ras. Dea mencoba mendesak sahabatnya untuk buka suara. Apalagi yang Rasya takutkan, apalagi yang Rasya pikirkan.“Apa,… Jangan-jangan,..” Dea mendelik pelan. Memainkan jari telunjuk ke bibirnya berulang-ulang. Sontak membuat Rasya menatapnya penuh tanda tanya. Dea mengibaskan tangannya, “ah, lupakan!” Ia kembali menyeruput lemon nya tanpa memperhatikan Rasya yang mulai diburu cemas.“Kamu kan nggak pernah punya pacar, Ras. Lalu, apalagi yang kamu bingungkan?” Ia menyerobot sorot mata ingin tahu Rasya dengan tanda tanya yang mulai membuatnya semakin ingin tahu sisi lain pikiran sahabatnya itu.Ponsel Rasya berdering. Sedikit mengalihkan perhatian keduanya. Dea yang kembali menikmati pesanannya, sementara Rasya hanya melirik ponselnya yang berdetas di meja. Ia tak bergeming. Hanya menatapnya dalam. Nama Melvin muncul. Dea yang penasaran sedikit mencuri pandangpada layar ponsel yang berada tak jauh darinya. Rasya tetap bergeming. Seolah ponsel itu bukan miliknya.“Ponselmu!” Dea menghardiknya pelan. Rasya tersenyum kecut. Tidak ingin menekan tombol reject atau menekan tombol hijau untuk mengangkatnya. Hanya dibiarkan bergetar dan berkedip hingga sambungan berhenti dengan sendirinya. Rasya memejamkan mata. Ia kembali teringat memori kemarin malam yang membuatnya diombang ambing oleh perasaan manusiawi bernama cinta.“Hai, Ras!” Melvin tiba-tiba berada di depannya. Menarik kursi dan duduk di depannya tanpa basa-basi. Rasya yang tengah menikmati novel favoritnya itu hanya melotot tak percaya akan kehadiran lelaki yang kini lebih terlihat rapi daripada delapan tahun yang lalu.“Sudah lama? Sendiri?” Basa-basi pertama yang terlontar dari Melvin untuk pertemuan pertama sejak peristiwa yang membuat hatinya beku. Dingin sedingin es, hingga tak seorangpun mampu melelehkannya menjadi hangat.Rasya hanya mengangguk seperlunya, menggeleng atau sedikit jawaban yang sekiranya memang diperlukan. Hingga Melvin pamit di sore bekas hujan yang berhenti setelah obrolan pendek dan singkat dengannya. Melvin tersenyum dan meninggalkan Rasya yang duduk terpaku di tempatnya.“Siapa?” Ben yang baru tiba dan memang melihat Melvin terlihat ramah pada Rasya bertanya. Rasya dan Ben memang teman semenjak kuliah,  Ben yang intens mendekati Rasya dengan segala kejutekan gadis itu, tetap pantang menyerah untuk berhenti. Meskipun hingga ucapan lamarannya kali ini, mereka belum berstatus pacar. Hanya teman.Rasya menceritakan kejadian Melvin yang kembali. Bukan, tepatnya pertemuan tak terduga dengan Melvin, dengan pertemuan-pertemuan selanjutnya yang memang bakalan terjadi dan permintaan Ben untuk menjadi pendampingnya.“Lalu, kamu masih cinta sama si Melvin itu?” Tanya Dea tanpa tedeng aling-aling. Rasya menggeleng pelan. Tapi setengah dipaksakan. Melvin dengan dirinya sudah tak pernah bertemu semenjak delapan tahun yang lalu. Semenjak  orang tuanya harus menanggung malu, semenjak ia harus pergi meninggalkan kota kelahirannya hanya karena hubungannya dengan Melvin diketahui keluarga besar Melvin yang merupakan salah satu orang terpandang di kotanya. Mereka yang masih sama-sama anak ingusan dan tidak bisa apa-apa hanya bisa pasrah. Melvin pun sudah dijodohkan dengan sahabat papanya yang lebih mempunyai segalanya dan dari keluarga yang setara. Pengusiran halus, hingga tekatnya yang besar membuat dirinya meninggalkan kedua orang tuanya. “Aku rela nggak dapat warisan, atau bahkan harus memulai dari nol tanpa melibatkan fasilitas papaku asal dengan kamu, Ras.” Melvin menggenggam erat kedua tangan Rasya yang kembali dipertemukan di kafe tempat mereka bertemu sebelumnya.“Apa kamu pikir, aku masih ada rasa sama kamu?” Melvin serasa ditohok, mendengar perkataan yang tiba-tiba keluar dari mulut Rasya. Dingin dan begitu kokoh, tidak ada senyum manis itu. Hilang bahkan tanpa bekas.Rasya menampirk genggaman tangan Melvin. “Kita, nggak bisa Mel. Semuanya udah berlalu. Bener kata mamamu. Kita hanya cinta monyet biasa.”“Lalu??”Tanya Dea antusias. Rasya tidak tahu menahu. Pikirannya tidak pernah menggambarkan jelas cinta itu seperti apa. Kenapa cinta harus terhalang kaya dan miskin. Atasan dan bawahan. Ben, lelaki yang selama ini meminta rasa yang mungkin sebenarnya sudah tak tersisa, adalah sosok yang pantas. Pikir Rasya Ben adalah sosok ideal yang mampu menggantikan Melvin. Namun nyatanya, ketika Melvin kembali, luka yang dulu pernah ada sedikit terbuka, namun ia tak bisa membenci atau menyanggah bahwa hatinya masih untuk Melvin seorang.“Aku nggak butuh jabatan tinggi atau harus menikahi Rachel agar statusku bisa lebih kuat sebagai pemegang saham di perusahaan papa. Kalaupun aku kehlangan semuanya, aku nggak mau kehilangan kamu lagi, Sya.” Melvin terlihat serius dengan kata-katanya. Melvin bukan tipe penggombal yang hobi cari sensasi sana-sini. Ia dulu anak laki-laki yang manis, yang baik hati dan sekarang tumbuh menjadi sosok berwibawa yang penuh pesona.“Nggak semudah itu Melv!” Rasya menimpali sinis. Tatapannya sedikit terluka. Bahkan untuk urusan ini sungguh lebih rumit.“Dan, itu tanda bahwa kamu masih saying sama Melvin, Ras!” Dea memberikan tanggapannya. Setelah seharian mendengarkan cerita Rasya yang menguras emosi. Tempat makan yang tadinya sepi juga sudah mulai beranjak penuh. Bangku-bangkunya mulai silih berganti pelanggan. Dea pun sudah menghabiskan segelas lemonnya dan berganti dengan jus apel untuk yang kedua.“Hufft.” Rasya mendesah pelan. Memandang layar ponselnya yang kini berganti memunculkan rangkaian B-E-N besar di layar.“Dan, keputusanmu?”Rasya menggeleng. Tiba-tiba Melvin sudah berdiri di sampingnya. Mengenakan kaos polo putih dan celana jeans hitam yang pas dengan tubuhnya ia mengagetkan Dead an Rasya. Sontak, Rasya yang kaget dengan muka tak percaya, Dea yang melongo terpesona dengan wajah rupawan khas keturunan bangsawan itu mendadak bungkam.“Ikut aku sekarang juga!” Melvin menyeretnya paksa hingga Rasya tak kuasa menolak untuk tidak mengikutinya.“Kita kemana?” Rasya bertanya ragu-ragu.Satu menit. Dua menit. Hingga Lima menit. Rasya hanya melemparkan matanya ke luar kaca mobil. Melemparkan pandangannya ke berbagai arah tanpa tujuan.“Kita temui papa mamaku, sekarang!” Mendadak wajah itu menoleh kea rah Melvin yang masih seksama menyetir. Rasya membeku seolah tak percaya akan apa yang akan dihadapinya.Tenang aja, Sya! Aku tahu pilihanku. Jangan khawatir!" Melvin meremas pelan jemari Rasya yang ia tahu mulai merasa was-was dan Melvin tahu apa yang gadis itu pikirkan. Dan kalau harus menyesalinya, Melvin tak bisa menyesal seumur hidup gara-gara dia terjerat dengan materi keluarganya dan harus tunduk. Membuatnya seolah tidak bisa berusaha mencapai apapun yang ingin dijalaninya. Cinta, memang butuh uang. Uang bisa dicari asal kita berusaha, sedangkan cinta yang murni dari hati, Melvin tak isa melepasnya begitu saja.Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com

Rabu, 04 November 2015

A Life

Bisa cek  A Life untuk yang ingin novel “Operation: Break the Cassanova’s Heart GRATIS

Sabtu, 31 Oktober 2015

Paket A




#GiveAwayEllunar1st

Entah berapa tahun silam.
Sepuluh, sebelas, dua belas atau tiga belas tahun seilam kita bersama. 
Tertawa, menangis, berlari hingga bermimpi bersama. 
Setelah melewati masa-masa itu, kini kita tidak saling bersua. Lamaaaaaa sekali, pikirku seolah kembali mengenang masa-masa cemong kita.
Hey, masa kecilku! Ingatkah kamu, bahwa kita masih sahabat? 
Apa kamu masih ingat dengan masa-masa belepotan dengan lumpur, atau debu-debu khas ketika memainkan bola sepak?
Belum lagi, butir-butir peluru mainan yang membuatmu terbahak sedangkan aku tersungkur dalam tangis ???
Oh iya, mereka jadi saksi bisu, ketika kita tumbuh bersama.
Namun, setelah sekian lama terjerat dalam ikatan persahabatan yang seperti ini, aku mulai berbeda. Apakah kau merasakannya? Atau perhatianmu sebagai sahabat membuatku terkapar tak jelas mengartikannya?
Iya, mungkin benar. Iman kita beda. Kepercayaan tentang bagaimana seorang sahabat yang selalu ada dalam duka maupun bahagia berbeda. 
Kita punya jalan  pikir berseberangan. Tapi, aku tidak akan pernah khawatir.
Sampai dunia belum kiamat, aku akan berusaha menjaganya. Persahabatan yang tidak akan pernah pudar walaupun kau tidak pernah merasakan gurat rasa berbeda yang selama ini aku tunjukkan.
Because, this is love. Tidak akan meminta imbalan apapun. Karena sahabat, selamanya akan tetap sama.

Paket B

#GiveAwayEllunar1st

"Udah, nikah aja guys!"
Idiiiiiiiihhhhh... Gampang amat ya mereka bilang seperti itu? Memangnya mereka ini siapa?? Seenaknya menyarankan kita, menyarankan kamu dan aku seperti itu? Apa mereka pikir kita pacaran?
Wahh.. Mereka terlalu menyerap rumor yang beredar. Gosip-gosip yang tidak pernah diklarifikasi kebenarannya. Hey, ingat!! Perkataan adalah doa. Itu yang sekarang terjadi kepadaku. Kepada persahabatanku.
Lalu, bagaimana aku harus menanggapi, bagaimana aku harus mengatasi jika gema rasa itu benar-benar muincul???
Aduh,. Semuanya pasti akan berantakan. Semuanya akan jadi serba kacau. Bahkan, jika aku mengingkarinya.
Lalu, haruskah aku memulainya??
Jika dia, jika kamu belum punya gema rasa yang sama, yang terlebih dahulu muncul di hatiku, apa setiap hari harus aku ucapkan sebuah salam , misal seperti ini?
"Selamat pagi!!! Udah sayang sama aku belum hari ini? Kalau belum, ya udah, besok aku tanya lagi" Seperti ini? Untuk memancingmu??
Atau, langsung menjurus ke pokok permasalahan. Meminta pertanggungjawaban, atau yang lebih tepatnya meminta kejelasan tentang persahabatan yang mulai sedikit berubah rasa.
Atau dengan yang ini, lebih radikal dan lebih memalukan lagi???
"Say you love me, pleae!!!"
Arrgghhhh.. Terlalu mainstream. Nyatanya bahkan satu cerita penuh di Lembeh dan Jawa berhasil kau selesaikan, kita tetap sahabat. Tidak akan pernah terganti. Terserah orang mau bilang apa. We always be friend.
Right??????

Senin, 26 Oktober 2015