Senin, 14 Desember 2015

Review Bulan Nararya - Sinta Yudisia

  

Nama Penulis : Sinta Yudisia
Penyunting Bahasa : Matris Radyamas
Penata Letak : Puji Lestari
Desain Sampul : Andhi Rasydan & Naafi Nur Rohma
Penerbit : Imdiva Media Kreasi
ISBN : 978-602-1614-33-4
Cetakan Pertama : September 2014
256 halaman; 19 cm
Harga : Rp.46.000,00 Rp.27.600,00 di 
http://bookstore.indivamediakreasi.com/index.php?route=product/search&filter_name=bulan%20nararya

Aroma mawar makin tajam tercium.
Aku menundukkan kepala, gigi gemeletukan. Rahang saling beradu. Kedua kaki berdiri tanpa sendi, namun betis mengejang kaku. Berpegangan pada kusen pintu, perlahan tubuh melorot ke bawah. Ada sebaran kelopak mawar tercabik hingga serpihan di depan ruang kerja. Sisa tangkai dan batang serbuk sari teronggok gundul, gepeng terinjak. Cairan. Cairan menggenang, berpola-pola.

Aku bangkit, terkesiap. Otakku memerintahkan banyak hal tumpang tindih. Lari keluar, berteriak. Atau lari ke dalam, mengunci pintu. Atau lari masuk, menyambar telepon. Tidak. Anehnya, intuisiku berkata sebaliknya. Tubuhku berbalik, meski melayang dan tremor, dengan pasti menuju tas. Merokoh sisi samping kanan, hanya ada pulpen dan pensil. Merogoh sisi kiri, ada tas plastik kecil, bekas tempat belanjaan yang kusimpan demi eco living.

Segera kuambil tas plasting kecil, membukanya, menuju ke arah pintu.

Halusinasiku menemukan jawaban.

*****

Suaranya terdengar serak di seberang.
Bingung. Marah tertahan. Juga, luka di akhir tarikan napas.
"Aku harus bagaimana?"
Jam dinding menjawaw dengan dentangan berjumlah dua. Dini hari yang memberatkan kelopak mata.
"...dia bunuh kucingku!" 

Opening yang cukup membuat penasaran. 
Awal melihat novel ini sudah jatuh hati sama covernya yang cantik. Apalagi pembukaan di awal cerita dan ringkasan di sampul belakang akhirnya memberi rasa penasaran untuk lebih jauh mengenal kisah sebenarnya yang berusaha dijelaskan penulis. Walau pada awalnya terkecoh akan sampul manis, dengan label sebagai Juara III Kategori Novel Kompetisi Menulis Tulis Nusantara 2013 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Anganku menebak, mungkin menceritakan tentang kehidupan Suku Anak Dalam, atau pesona alam dan keindahan salah satu wilayah nusantara. Nyatanya,.. (Aku cukup mengernyit) Salah besar.

"Seseorang yang pernah utuh di masa lampau, terpotong sebagian masa-waktu akibat kehilangan ingatan dan kemampuan menganalisa realitas, demikianlah ciri khas skizophrenia yang lazim disebut ketidakwarasan." - hal 240

Ini novel perdana dari kak Sinta Yudisia yang berhasil aku selesaikan. Pokok utamanya tentang problematika dalam hidup, masalah kehidupan yang lebih kompleks. Masalah internal dan eksternal yang selalu dihadapi manusia. Namun settingnya berada di area "mental illness". Adalah Nararya, yang akrab disapa Rara sebagai tokoh utama jalannya cerita. Harus bergelut dengan lingkungan pribadi dan kerja yang memberinya banyak pergesekan, membuatnya harus bisa bertahan. Sebagai terapis, yang juga sebagai manusia biasa, masalah tidak hanya berasal dari satu sisi. Banyak rasa yang tercipta di dalamnya. Ada marah, benci, sedih, kecewa, cinta dan kasih sayang.
"Terapis yang hebat, bukan mereka yang mampu menangani segala. Tapi yang tahu kapan harus meminta bantuan dari orang lain, di titik tertentu." hal 101
"Kamu terapis? Ya! Tapi kalau nggak mampu mengatasi persoalan pribadi, bukan dosa ketika meminta bantuan orang lain. Di sisi lain, hanya kita yang tahu kekuatan diri sendiri. Kamu harus bangkit. Move On! Sekarang, atau terlambat!" hal 101 
Berawal dari gagasannya mengubah cara penyembuhan penderita skizophrenia agar tidak selalu bergantung pada farmakologi. Pada obat-obatan. Gagasan transpersonalnya yang ternyata ditentang oleh bu Sausan, atasannya di mental health center tempat Nararya bekerja. Mungkin, karena Nararya yang sudah cukup dekat dengan tiga teman luar biasanya, seperti Sania - gadis kecil yang beranjak dewasa, yang mempunyai latar belakang kekerasan dalam keluarga, hingga ia harus mendekam di pusat rehabilitasi -, Yudhistira; arsitek tampan yang mempunyai istri pintar nan cantik, yang tak mampu membendung emosinya akibat tekanan dari keluarga serta pak Bulan, mantan residivis yang selalu bergelut dengan mawar, dan Purnama yang selalu ia sebutkan, tanpa mengindahkan bentuk bulan sebenarnya. Simpati atau bahkan kasih sayangnya mendorong dirinya untuk membuat terobosan baru agar mereka tidak kambuh atau bergantung pada obat-obatan.

Masalah bisa datang dari banyak hal, bukan? Mungkin ini yang ingin ditekankan oleh penulis. Life is never flat. Di samping perselisihannya dengan sang atasan, Nararya dihadapkan pada gejolak rumah tangga yang akhirnya harus ia lepaskan. Angga, suami yang dicintainya, yang dulunya membuatnya merasa sempurna, akhirnya membuatnya kecewa setengah mati. Sepuluh tahun kebersamaan mereka kandas diakibatkan Angga yang lebih memilih untuk bersama Moza, sahabat Nararya. Puk puk bu Rara :D :D :D
"Aku menjauh. Apa aku bisa tegas menolaknya? Apa Angga dan Moza resmi menjadi musuhku? Sejak kapan? Sejak aku bercerai dari Angga dan Moza menjadi istrinya diam-diam?" hal 123
"Aku memilih menyelamatkan diri. Kuizinkan Angga dan Moza melihat hubungan dalam sudut pandang yang berbeda, meski aku tak berharap Moza mengalami hal yang sama buruknya dengan diriku. Walau sempat, sebagai manusia, aku mengutuknya. Bagaimana mungkin seorang sahabat merebut seseorang yang kucintai, di saat terakhir?" hal 28
Tidak sampai disitu saja. Meskipun berat melepaskan Angga, di saat ia memilih untuk menyerah, kehidupan Angga dan Moza malah memberinya banyak masalah baru. Angga yang menjadi kliennya, hingga kedatangan Moza yang selalu mencecarnya dengan banyak hal. Lalu, apakah masalah Rara akhirnya selesai begitu saja setelah kedatangan Moza dan Angga (dengan status yang berbeda)??

Banyak tokoh yang terlibat dalam cerita ini, dari latar belakang dan usia yang berbeda. Sehingga memunculkan banyak intrik dan konflik yang tercipta. Di lain persahabatan dan rumah tangganya yang kandas, masalah dari keluarga pasien menambah alur cerita lebih varian. Ketidakharmonisan keluarga Yudhistira - istrinya dengan ibu dan kakak-kakak Yudhis -, kedatangan ayah kandung Sania yang meminta anaknya, hingga halusinasi Rara tentang mawar dan darah yang sering ia lihat - yang membuatnya dikira mengidap skizophrenia - menambah daftar konflik, hingga seoalah tidak ada habisnya dan menuntut  jawaban akan akhir kisahnya.
"Setiap orang pernah punya halusinasi. Ilusi. Malah ada orang-orang yang bisa mendengar suara aneh, melihat bayangan gaib. Itu ciri khas skizophrenia, orang gila." hal 138
Penggunaan sudut pandang orang pertama, banyak membantu menjelaskan cerita yang terjadi. Apalagi sedikit misteri berbumbu detektif semakin menambah aroma mistis di dalam cerita.
Namun, banyak kata-kata psikologis macam demonish (hal 8), celebral palsy, slow learner, multi handicapped (hal 18) atau kata-kata lain yang tidak saya mengerti kadang membuat saya harus menghentikan membaca dan mencarinya lewat internet. Mungkin, jika pengetian yang berada di halaman terakhir dijadikan footnote akan  memudahkan dan memberi kepuasan lebih bagi para pembaca. :D :D :D

Dan yang menurut saya sedikit aneh adalah, daftar isi yang ternyata judulnya pun tidak dituliskan di tiap pergantian bab. Menurutku, lebih baik diberi judul tapi tidak ada daftar isi, atau memberikan daftar isi dan diberi judul. Kan, kalau pengen tahu judulnya nggak usah bolak-balik halaman awal :D nanti jadi gagal fokus. Hehehe.. :D :D

Oh iya, MVP atau kalau di olahraga Most Valuable Player a.k.a pemain terbaik adalah Bu Sausan. Saya menyukai karakter tegas dan berwibawa beliau, meskipun kadang-kadang menjengkelkan. Nararya, aku juga menyukainya. Meskipun rapuh, tapi akhirnya berkat dukungan dari banyak orang, ia bangkit. Salut juga buat Diana yang akhirnya memilih hal yang benar :D :D :D Aduh, cerita cinta Luna sama Randi juga jadi sedikit hiburan setelah gemas-gemas sebal dengan Nararya yang gagal move on dari Angga. (Angga?? Apa baiknya coba, bu Rara. hehehe.. :D)

Aku paling benci sama Angga. Bener-bener benci. Aduhh,, pingin ngetimpuk pake buku tebal deh. :P :D Udah gedhe, tapi kok tetap labil. Dan Moza, kalian bisa baca sendiri konflik yang mereka bangun. Keduanya cocok deh, bikin aku galau kaya Nararya... Setuju banget sama Nararya yang berusaha Move On dan melepas Angga. Dan saya masih sebel sama Moza. (Ngerasa senasib. Ehhhh.. xD sedikit curcol. Hehehe.. )

Belum kutemui salah ketik, entah karena keasyikan menikmati cerita yang super menyita rasa penasaranku, atau saya memang melewatkannya begitu saja. :D
Saya sempat bingung, bagaimana akhir yang disediakan kak Sinta. Sempat kecewa sama konflik di keluarga Yudhis yang belum bisa buat saya "ngeh" maksimal (apa karena terlalu fokus sama endingnya Moza-Angga-Nararya, Yudhis-Sania-Diana (Sania enaknya ikut nggak ya.. :D :D Bisa dipahami sendiri deh :D). Tapi, overall, konflik satu sama lain terbangun dengan sempurna. :D Tiga jempol buat kak Sinta yang sukses bikin saya penasaran sampai akhir cerita.
"Tak usah mencari apa makna yang tersirat. Kesukaanmu mencari apa yang tersembunyi di belakang, akan menyulitkan. Pakai saja konsep here and now. Apa yang ada di hadapanmu, itu saja." hal 93
Novel ini menarik dan layak dijadikan koleksi bagi yang  yang menginginkan lari dari serial Love and Travel, le Marriage yang tengah menjamur (bukan lari dari kenyataan loh :D ehhhh). Recommend banget.  Kata-kata motivasi dan quote yang bertebaran cukup pas buat yang pengen Move On. Terapis patah hati aja harus Move On, apalagi kamu, yang manusia biasa. Ehhhhhhhhhhhhhhhhh :D :D :D
(Sedikit nyindir :D)
"Kehidupan tak pernah mudah. Bukan masa lalu yang menghancurkan seseorang, bukan orang lain yang mencelakakan, tapi sejauh mana manusia mampu memperkaya dirinya dengan hal-hal yang ditemui sepanjang jalan." hal 251
Hampir lupa, Ada jempol yang ketinggalan buat Farida :D :D

2 komentar: