Minggu, 22 November 2015

Two Choices



Rasya masih mengotak-atik milkshake coklatnya sambil melamun dengan tatapan kosong yang tidak pernah bisa diungkapkan. Tapi, raut wajahnya terlihat begitu suram tidak seperti Rasya yang selalu ceria dengan kondisinya. Yang selalu menebar banyak senyum ke siapapun hingga bisa dikatakan layaknya orang gila yang menertawakan imajinasi yang menurutnya lucu. Ia masih menunggu Dea membawa pesanannya. Ya, mereka memilih tempat nongkrong favorit mereka, dimana makanan atau pesanannya langsung dibayar sebelum dibawa, hanya makanan yang butuh proses lama yang akan diantar pelayan. Mereka lebih menyukainya, ketika menikmati obrolan, tidak akan ada jeda ketika pelayan dating memberhentikan obrolan seru.So, what you think about Ben?” Dea mengeluarkan keingintahuannya setelah kemarin berhasil menangkap arah pembicaraan Rasya via chat biasa. Ia mengalihkan tatapannya dari segelas es lemon yang berada di depannya. Tidak kurang, tidak lebih. Tatapan khawatir itu jelas terpampang di raut wajah cantik Rasya.Rasya mendesah. Ia tak tahu harus memulainya darimana. “Gimana denganmu dan Azka? Baik-baik?” Ucapnya ragu. Dea mendesah pelan. Mengendikkan bahu tanpa tak tahu. Ia berjengit tak percaya. “Ben baik, tapi ada hal lain yang aku bingungkan.”“Apa?” Pertanyaan itu keluar dari tatapan mata Dea yang langsung menghujan ke mata sayu Rasya. Rasya menggeleng pelan. Seolah ia ingin tahu seberapa besar masalahnya. Apa yang Rasya pikirkan hingga kekhawatiran itu keluar menapakkan aura negatif yang membuatnya sahabatnya terlihat begitu tertekan.
“Ben melamarku.” Ucapnya ragu-ragu dengan nada yang lirih. Rasya Nampak murung. Mendesah pelan dan kembali mengubek milkshake yang masih terlihat utuh.“Lalu?” Dea masih terlihat antusias dengan cerita sahabatnya. Tidak mau memotong ataupun langsung menyerobot paksa. Hanya mendengarkan apa yang tengah dipikirkan Rasya.Banyak waktu-waktu yang memaksa mereka berdiam diri. Rasya dengan dunianya sendiri, tenggelam dengan lamunannya tanpa diketahui pasti sebabnya.Ben yang diketahui Dea adalah cowok dengan reputasi keren di kampusnya dulu. Atlet basket, pengurus ikatan mahasiswa, dan berasal dari keluarga terpandang. Masih ia ingat betul awal mulanya Dea tahu bahwa Ben menaruh hati pada Rasya.“De, kapan nongkrong lagi?” Dea menyelidik heran. Bukan tanpa alasan, Ben terlihat sebagai cowok yang jarang banget atau mungkin jual mahal untuk terlihat dekat dengan cewek. Meski satu jurusan, dan sekelas, Ben tidak pernah menyapa Dea sebelum akhirnya Rasya hadir.“Beni. Biasa dipanggil Ben.” Ia mengulurkan tangannya tepat di hadapan rasya yang masih sibuk dengan buku yang ia pegang. Nampak terlihat polos nan lugu, Rasya tak merespon uluran tangan itu hingga Dea yang terpaksa turun tangan menyikut Rasya pelan.Dan, setelah adegan perkenalan yang lama-lama membuatnya terkekeh itu, Ben semakin dekat dengan Rasya. Namun, entah apa yang dipikirkan gadis itu, ia sedikit menjaga jarak. Dea baru mengenal Rasya di semester kedua, jadi Dea pun belum mengerti betul karakter Rasya kecuali pendiam. Tidak banyak bicara, tapi sebenarnya ia gadis asyik. Hanya saja, ketika berhadapan dengan cowok, ia langsung berubah menjadi dingin dan cuek. Seolah mereka tidak pernah muncul.“Aku bingung, De.” Rasya buka suara. Ia masih memandang lalu lalang jalanan dengan kendaraan beroda dua yang mulai ramai.“Kalian sudah mapan Ras. Kamu kerja, Ben juga kerja. Mau keluarganya memandang kamu sebelah mata, itu udah bukan urusan lagi. Kamu punya peng…” Belum sempat Dea menutup penjelasannya, Rasya perlahan menggeleng. Ia menggeleng berkali-kali seolah lebih menjelaskan bahwa bukan itu masalah sebenarnya. Siapa yang tidak mau dengan Ben yang ganteng, punya tubuh tinggi dengan kulit putih, punya pekerjaan mapan  hingga keluarga terpandang. Setiap gadis tak akan pernah bisa menolaknya, bahkan menolak untuk menjadi istrinya. Dea berkali-kali menyindirnya untuk lelucon jika memergoki Rasya yang diantar pulang oleh Ben sewaktu kuliah hingga setelah mereka menjadi pekerja antoran seperti saat ini.“Bukan itu, lalu kenapa? Dari dulu kamu kan bingung masalah financial? Sekarang pekerjaanmu oke, gaji oke, mau nunggu apalagi? Ksempatan nggak dating dua kali lo Ras. Dea mencoba mendesak sahabatnya untuk buka suara. Apalagi yang Rasya takutkan, apalagi yang Rasya pikirkan.“Apa,… Jangan-jangan,..” Dea mendelik pelan. Memainkan jari telunjuk ke bibirnya berulang-ulang. Sontak membuat Rasya menatapnya penuh tanda tanya. Dea mengibaskan tangannya, “ah, lupakan!” Ia kembali menyeruput lemon nya tanpa memperhatikan Rasya yang mulai diburu cemas.“Kamu kan nggak pernah punya pacar, Ras. Lalu, apalagi yang kamu bingungkan?” Ia menyerobot sorot mata ingin tahu Rasya dengan tanda tanya yang mulai membuatnya semakin ingin tahu sisi lain pikiran sahabatnya itu.Ponsel Rasya berdering. Sedikit mengalihkan perhatian keduanya. Dea yang kembali menikmati pesanannya, sementara Rasya hanya melirik ponselnya yang berdetas di meja. Ia tak bergeming. Hanya menatapnya dalam. Nama Melvin muncul. Dea yang penasaran sedikit mencuri pandangpada layar ponsel yang berada tak jauh darinya. Rasya tetap bergeming. Seolah ponsel itu bukan miliknya.“Ponselmu!” Dea menghardiknya pelan. Rasya tersenyum kecut. Tidak ingin menekan tombol reject atau menekan tombol hijau untuk mengangkatnya. Hanya dibiarkan bergetar dan berkedip hingga sambungan berhenti dengan sendirinya. Rasya memejamkan mata. Ia kembali teringat memori kemarin malam yang membuatnya diombang ambing oleh perasaan manusiawi bernama cinta.“Hai, Ras!” Melvin tiba-tiba berada di depannya. Menarik kursi dan duduk di depannya tanpa basa-basi. Rasya yang tengah menikmati novel favoritnya itu hanya melotot tak percaya akan kehadiran lelaki yang kini lebih terlihat rapi daripada delapan tahun yang lalu.“Sudah lama? Sendiri?” Basa-basi pertama yang terlontar dari Melvin untuk pertemuan pertama sejak peristiwa yang membuat hatinya beku. Dingin sedingin es, hingga tak seorangpun mampu melelehkannya menjadi hangat.Rasya hanya mengangguk seperlunya, menggeleng atau sedikit jawaban yang sekiranya memang diperlukan. Hingga Melvin pamit di sore bekas hujan yang berhenti setelah obrolan pendek dan singkat dengannya. Melvin tersenyum dan meninggalkan Rasya yang duduk terpaku di tempatnya.“Siapa?” Ben yang baru tiba dan memang melihat Melvin terlihat ramah pada Rasya bertanya. Rasya dan Ben memang teman semenjak kuliah,  Ben yang intens mendekati Rasya dengan segala kejutekan gadis itu, tetap pantang menyerah untuk berhenti. Meskipun hingga ucapan lamarannya kali ini, mereka belum berstatus pacar. Hanya teman.Rasya menceritakan kejadian Melvin yang kembali. Bukan, tepatnya pertemuan tak terduga dengan Melvin, dengan pertemuan-pertemuan selanjutnya yang memang bakalan terjadi dan permintaan Ben untuk menjadi pendampingnya.“Lalu, kamu masih cinta sama si Melvin itu?” Tanya Dea tanpa tedeng aling-aling. Rasya menggeleng pelan. Tapi setengah dipaksakan. Melvin dengan dirinya sudah tak pernah bertemu semenjak delapan tahun yang lalu. Semenjak  orang tuanya harus menanggung malu, semenjak ia harus pergi meninggalkan kota kelahirannya hanya karena hubungannya dengan Melvin diketahui keluarga besar Melvin yang merupakan salah satu orang terpandang di kotanya. Mereka yang masih sama-sama anak ingusan dan tidak bisa apa-apa hanya bisa pasrah. Melvin pun sudah dijodohkan dengan sahabat papanya yang lebih mempunyai segalanya dan dari keluarga yang setara. Pengusiran halus, hingga tekatnya yang besar membuat dirinya meninggalkan kedua orang tuanya. “Aku rela nggak dapat warisan, atau bahkan harus memulai dari nol tanpa melibatkan fasilitas papaku asal dengan kamu, Ras.” Melvin menggenggam erat kedua tangan Rasya yang kembali dipertemukan di kafe tempat mereka bertemu sebelumnya.“Apa kamu pikir, aku masih ada rasa sama kamu?” Melvin serasa ditohok, mendengar perkataan yang tiba-tiba keluar dari mulut Rasya. Dingin dan begitu kokoh, tidak ada senyum manis itu. Hilang bahkan tanpa bekas.Rasya menampirk genggaman tangan Melvin. “Kita, nggak bisa Mel. Semuanya udah berlalu. Bener kata mamamu. Kita hanya cinta monyet biasa.”“Lalu??”Tanya Dea antusias. Rasya tidak tahu menahu. Pikirannya tidak pernah menggambarkan jelas cinta itu seperti apa. Kenapa cinta harus terhalang kaya dan miskin. Atasan dan bawahan. Ben, lelaki yang selama ini meminta rasa yang mungkin sebenarnya sudah tak tersisa, adalah sosok yang pantas. Pikir Rasya Ben adalah sosok ideal yang mampu menggantikan Melvin. Namun nyatanya, ketika Melvin kembali, luka yang dulu pernah ada sedikit terbuka, namun ia tak bisa membenci atau menyanggah bahwa hatinya masih untuk Melvin seorang.“Aku nggak butuh jabatan tinggi atau harus menikahi Rachel agar statusku bisa lebih kuat sebagai pemegang saham di perusahaan papa. Kalaupun aku kehlangan semuanya, aku nggak mau kehilangan kamu lagi, Sya.” Melvin terlihat serius dengan kata-katanya. Melvin bukan tipe penggombal yang hobi cari sensasi sana-sini. Ia dulu anak laki-laki yang manis, yang baik hati dan sekarang tumbuh menjadi sosok berwibawa yang penuh pesona.“Nggak semudah itu Melv!” Rasya menimpali sinis. Tatapannya sedikit terluka. Bahkan untuk urusan ini sungguh lebih rumit.“Dan, itu tanda bahwa kamu masih saying sama Melvin, Ras!” Dea memberikan tanggapannya. Setelah seharian mendengarkan cerita Rasya yang menguras emosi. Tempat makan yang tadinya sepi juga sudah mulai beranjak penuh. Bangku-bangkunya mulai silih berganti pelanggan. Dea pun sudah menghabiskan segelas lemonnya dan berganti dengan jus apel untuk yang kedua.“Hufft.” Rasya mendesah pelan. Memandang layar ponselnya yang kini berganti memunculkan rangkaian B-E-N besar di layar.“Dan, keputusanmu?”Rasya menggeleng. Tiba-tiba Melvin sudah berdiri di sampingnya. Mengenakan kaos polo putih dan celana jeans hitam yang pas dengan tubuhnya ia mengagetkan Dead an Rasya. Sontak, Rasya yang kaget dengan muka tak percaya, Dea yang melongo terpesona dengan wajah rupawan khas keturunan bangsawan itu mendadak bungkam.“Ikut aku sekarang juga!” Melvin menyeretnya paksa hingga Rasya tak kuasa menolak untuk tidak mengikutinya.“Kita kemana?” Rasya bertanya ragu-ragu.Satu menit. Dua menit. Hingga Lima menit. Rasya hanya melemparkan matanya ke luar kaca mobil. Melemparkan pandangannya ke berbagai arah tanpa tujuan.“Kita temui papa mamaku, sekarang!” Mendadak wajah itu menoleh kea rah Melvin yang masih seksama menyetir. Rasya membeku seolah tak percaya akan apa yang akan dihadapinya.Tenang aja, Sya! Aku tahu pilihanku. Jangan khawatir!" Melvin meremas pelan jemari Rasya yang ia tahu mulai merasa was-was dan Melvin tahu apa yang gadis itu pikirkan. Dan kalau harus menyesalinya, Melvin tak bisa menyesal seumur hidup gara-gara dia terjerat dengan materi keluarganya dan harus tunduk. Membuatnya seolah tidak bisa berusaha mencapai apapun yang ingin dijalaninya. Cinta, memang butuh uang. Uang bisa dicari asal kita berusaha, sedangkan cinta yang murni dari hati, Melvin tak isa melepasnya begitu saja.Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar